Label of Mine

my note (49) my activity (29) my brother (18) my family (14) birthday (8) my papa (8) me and papa (6) at home (5) mamaku (5) ramadhan (5) fun time (4) my aunt wawa (4) my blog (4) my mom (4) my note-sick (4) Idul Fitri (3) beach (3) jalan-jalan (3) my accident (3) my lovely aceh (3) my photo album (3) sick and sick (3) ulang tahun (3) PKA8 (2) action (2) apiz birthday (2) blog mama (2) budaya (2) daycare (2) hari pertama sekolah (2) kelas melukis (2) my cake (2) my father (2) my note sleep (2) my note-bajaj (2) my story (2) nenekku (2) new year (2) rutinitas (2) sakit lagi (2) sekolah pertamaku (2) song (2) sunat abiel (2) taman rusa (2) television (2) vacation (2) TKku (1) abiel birthday (1) action staircase (1) adegan spontan (1) aisya birthday (1) aisya humaira (1) aisya note (1) anak hilang (1) arab jawi (1) bahan buku (1) beli mobil (1) brother blog (1) daigi (1) disiplin waktu (1) fashion show (1) feed (1) festival seni (1) gala show (1) go to rusa park (1) grandpa and granma (1) hajah cilik (1) hillside (1) janji teman (1) karnaval (1) kitab (1) kunjungan bilateral (1) les calistung (1) listrik padam (1) listrik prabayar (1) main ke rumah teman (1) makan indoor (1) malaysia (1) mama birthday (1) manasik haji (1) may note (1) may slank word (1) menari (1) mie instan (1) my exhibition (1) my favorit sport (1) my first note (1) my friend (1) my grandmother (1) my note-disaster (1) my note-stand up (1) my picture (1) my song (1) my uncle (1) name (1) new artis (1) new house (1) our car (1) pameran (1) pesantren OD (1) puasa (1) shalat (1) shooping (1) silat (1) simeulu (1) tahun baru hijriah (1) tahun baru 2012 (1) tahun baru islam (1) tradisi uroe raya (1) water boom (1)

Selasa, 10 September 2024

MIMPI TERBANG KE BINTANG

by Aisya Humaira-Siswi SMAN 3 Banda Aceh



Teluk masih berkabut, angin berhembus lembut karena matahari masih meringkuk di ufuk. Pagi ini aku putuskan untuk bersampan ke Teluk Dalam, meskipun butuh setengah hari pulang pergi untuk kesana mengambil rotan yang aku kumpulkan dari hutan dan sudah aku jemur kemarin. Aku kuatir badai akan datang lagi seperti kemarin, dan jika itu terjadi, aku harus menunggu selama seminggu sebelum badai reda, dan aku tak akan menerima bayaran. Jadi aku harus pergi sepagi mungkin sebelum badai itu datang. 

Seminggu yang lalu, satu buah kapal karam dihantam badai ketika berlayar ke Calang pelabuhan terdekat dari Pulo. Lima temanku yang bersekolah di Meulaboh, hilang di laut, dan sampai sekarang belum diketahui nasibnya. Itu risiko kami jika ingin melanjutkan sekolah dan menyeberang ke daratan.

Tapi aku tak bisa menunggu. Jika tidak, aku sama sekali tak bisa menganyam keranjang karena kehabisan bahan, sedangkan uang sekolah bulan ini harus aku lunasi, aku tak mau terlambat dan ayah tahu masalah keuanganku. Ini bisa menjadi alasannya memintaku berhenti sekolah. 

Seminggu sekali rotan hasil anyamanku akan dibawa pengepul ke Calang dengan perahu jika bukan musim badai, tapi jika seperti sekarang terpaksa harus dikirim melalui Labuhan Haji dengan kapal Fery meskipun ongkosnya lebih mahal, dan aku harus merelakan uang hasil jerih payahku dipotong untuk ongkos Fery.

Ini bulan pertamaku mulai bekerja sejak aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMPN 1 Simeulu, ini sudah menjadi pilihan dan risiko yang aku pilih sendiri. Aku tak punya pilihan lain.

“Sya, biar abangmu saja yang melanjutkan sekolah. Ayah pikir kamu sudah bisa membantu ibu di kebun saja, tamat SD sudah cukup untuk anak pulo sepertimu, nanti juga kerja di ladang. Ibumu juga begitu.” 

Aku teringat percakapan sebulan  lalu. Tapi aku tidak terima, bukan karena ayah lebih membela abang laki-lakiku, tapi aku memang ingin melanjutkan sekolah lagi. Aku juga tak mau berdebat mengapa perempuan seperti aku selalu harus mengalah tak bersekolah. Aku ingin seperti ibuku yang kuat dan gigih bekerja, tapi aku juga ingin lebih pintar.

Aku tahu masih banyak yang berpikir, untuk apa bersekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya mengurus rumah. Aku protes meskipun hanya dalam hati. Bukankah perempuan yang hebat bisa membawa anak-anak meraih mimpi lebih tinggi?. Aku ingin menjadi ibu yang bisa memotivasi anak-anakku kelak. 

Jadi, alasan perempuan tak harus bersekolah tinggi itu menurutnya salah. 

“Sya tetap mau sekolah, Sya janji tetap membantu ibu di kebun, dan bekerja menganyam rotan sepulang sekolah untuk membayar uang sekolah”. Sya akan mencari uang sekolah sendiri, biar abang tetap bisa melanjutkan sekolah.”  

Ketika itu ayah hanya diam, aku tak tahu apa yang sedang ada dalam pikirannya. Mungkin saja ia merasa sedih karena tak bisa menyekolahku ke SMP, atau karena merasa tak berdaya. Ibu memandangku dengan senyum teduh, aku yakin ia bangga dengan tekadku. Aku tahu pekerjaan ayah menjadi buruh nelayan, dan ibu yang bekerja di kebun dengan penghasilan pas-pasan, membuat ekonomi kami sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Tapi setidaknya ayah tidak melarangku, itu membuatku sedikit berbesar hati. Jadi aku tetap putuskan untuk mendaftar ke sekolah satu-satunya di pulo.

***

Meskipun itu keputusanku, masih saja ada yang protes. “Untuk apa sekolah, cuma bikin beban orang tua saja, anak perempuan lebih baik di rumah”. Tapi aku tak bergeming.

Aku punya alasan besar, aku ingin memetik bintangku sendiri. Aku menyayangi ibuku, aku juga mengagumi kasih sayang dan kegigihannya, tapi aku juga tidak mau terjebak hanya menjadi ibu biasa, aku berharap pada masa depanku sendiri yang lebih baik, meski tinggal di Pulo yang terpencil sekalipun. Aku harus bisa!.

Pagi itu aku harus berkejaran dengan waktu membantu ibu, apalagi pemilik kebun tempat ibuku bekerja memaksa memanen sebelum sore, karena keesokan paginya pemilik kebun akan menjualnya di hari pekan. Sementara aku harus mengikuti ujian besok. Meski kelelahan, aku tak mau gagal, aku harus menjadi yang terbaik di sekolah. Aku ingin menjadi guru seperti impianku.

Sekolah setiap tahun selalu kekurangan guru, tak semua orang mau tinggal di Pulo terpencil. Guru-guru pendatang pun tak selamanya bisa bertahan. Aku pikir sudah seharusnya anak-anak Pulo sendiri yang menjadi guru. 

Dan aku merasa, guru perempuan bisa lebih dekat, dan bisa memahami muridnya, apalagi dengan naluri keibuannya. Karena itu, sebagai perempuan, aku ingin bersekolah tinggi dan membagi ilmu untuk mereka. 

***

Akhirnya perjuanganku tak sia-sia. Pagi ini setelah tiga tahun berjuang menjadi yang terbaik, aku bisa berdiri dengan perasaan bahagia yang membuncah. Aku akan memulai mimpi baruku menjadi siswa afirmasi di ibukota berkat prestasiku. Aku tak kuasa menahan air mata, melihat ayah tersenyum. 

“Jaga diri baik-baik disana nak!”. 

Dan ibu memelukku untuk terakhir kali sebelum naik ke kapal, meski tak menangis tapi mata ibu berkaca-kaca.

“Kami akan menunggumu kembali Sya”, bisik ibu sambil menyelipkan uang di genggaman tangan. Aku memeluknya lebih erat dengan air mata yang aku tahan sekuat hatiku.

“Tenang saja Sya, kalau kurang uang, akan kami kirimi rotan supaya kamu tetap bisa menganyam, biar tak lupa dengan Pulo”, kata Ipah sahabatku, dan mereka semua tergelak tawa.

Tunggu aku kembali Pulo, aku akan datang dengan sejuta ilmu. Ayah, ibu, abang, tunggu aku kembali!. Teman-teman jaga Pulo-ku selama aku pergi, aku akan sangat merindukan kalian!, suara batin Sya menderu mengharu biru.

Man Jadda Wa Jadda, Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan bisa mencapai bintang impiannya. Itulah kisahku.

Tidak ada komentar: